10.11.10

> 03.11.10: Force Majeure!




Force Majeure!

Wed 03 Nov 2010

H Teddy Suratmadji

Sesungguhnya Allah ketika ahabba--cinta kepada suatu kaum maka ibtalaahum--mencoba Allah kepada kaum itu. Demikian bunyi sebuah hadits.

Itulah bedanya Khalik dengan makhluk. Ketika boss senang kepada bawahannya, dipromosikanlah dia. Ketika orang tua senang kepada anaknya, dibawalah ke mal. Ketika suami sedang cinta kepada istri, dan sedang banyak uang, dibelikannyalah hadiah-hadiah.

Namun ketika Allah SWT cinta kepada suatu kaum, justru kaum itu akan dicoba. Di antaranya dengan musibah, bencana. Suatu keadaan memaksa yang di luar kemampuan manusia untuk menolaknya. Force majeure.

Adapun bentuk cobaannya adalah ba'sa--bahaya, dlorro--kemelaratan, dan zulzilu--gonjang-ganjing. Demikian beratnya cobaan sampai-sampai ditulis di Al Quran ucapan: 'mata nashrullah?--mana pertolongan Allah?'

Allah tentu saja mempunyai tujuan atas ditimpakannya cobaan kepada suatu kaum, yaitu untuk mengetahui siapa yang menerimanya dengan keimanan. Sikap itulah yang seharusnya dimiliki bangsa ini ketika ditimpa bencana. Seperti ucapan Ketua Umum PB NU Said Aqil Siradj: "Bencana ini bukan karena bangsa ini banyak dosa".

Beberapa waktu lalu bahkan serangkaian bencana alam di Indonesia sempat-sempatnya dikaitkan karena Indonesia memiliki seorang presiden bernama SBY. Ini tidak hanya keterlaluan, tetapi adalah syirik yang tidak berampun. Pernah punya dosa sebesar apa Presiden SBY sampai harus dibalas oleh Allah SWT dalam bentuk bencana kepada rakyatnya? Astaghfirullaah.

Indonesia secara geologis terletak di tiga lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik yang labil. Selain itu, Indonesia terdiri atas rangkaian gunung api, walaupun karena itu pulalah Indonesia subur-makmur dan, seperti kata Koes Plus, lautannya kolam susu dan tanahnya tempat batu dan kayu jadi tanaman.

Hari-hari ini Indonesia sedang dicoba dengan bencana. Banjir bandang Wasior Papua Barat (4/10) yang menewaskan 164 orang dan 121 dinyatakan hilang. Disusul tsunami yang meluluhlantakkan Kepulauan Mentawai Sumatera Barat (25/10) dengan 423 orang tewas dan 6 turis dinyatakan hilang. Disusul lagi Gunung Merapi meletus (26/10) dan tewas 36 orang. Belum lagi aktivitas Anak Krakatau dan Papandayan meningkat. Tidak mau ketinggalan Jakarta (25/10) dilanda "genangan air" yang masif.

Repotnya, teknologi masa kini belum bisa memprediksi dengan pasti kapan akan terjadi bencana. Yang bisa dilakukan adalah sebatas menerangkan proses yang sudah terjadi. Komunikasi ternyata juga masih menjadi kendala. Buktinya Badan Nasional Penanggulangan Bencana baru mengetahui tsunami keesokan harinya, jam 10 pagi atau 12 jam setelah kejadian. Itupun dari media asing.

Beragamlah sikap bangsa Indonesia terhadap bencana ini. Tentu saja tidak semua bisa menunjukkan sikap rida, sabar dan tawakal. Simak saja SMS berantai yang beredar di ibu kota pascamusibah (25/10) yang di-copy-paste apa adanya, sbb:

Ass wr wb. Salam hormat dari Pemerintah Provinsi DKI Jkt, Pada saat2 spt sekarang ini, mohon disampaikan kpd ummat agar selalu ingat atas karunia Allah yg diberikan kpd kita warga Jakarta dan bersyukur kepadaNya, karena di sela2 anomali cuaca yg sangat ekstreem akhir2 ini, kita warga Jakarta diberikan ujian yg mungkin cukup mengganggu masyarakat seperi adanya kemacetan (yg hanya 1 atau 2 hari saja) serta adanya jalan yg digenangi air sebentar. Ujian ini bila dibandingkan dengan ujian dan musibah yg dialami saudara2 kita di kawasan Merapi, Wassior dan Mentawai tentu kita masih tergolong lebih baik. Mari kita kembali mengingat besarnya karunia itu dan memohon anugerahNya agar kita menjadi warga dan umat yg baik. Hindari diri dari mengumpat serta mencaci, karena hakikat musibah itu adalah dari Allah serta bagaimana sikap kita menghadapinya. Tolong pesan ini disampaikan kepada segenap ummat di sela2 pengajian...

Jika "genangan air" Jakarta secara tidak fair memojokkan seakan-akan semua kesalahan ada di Gubernur DKI Fauzi Bowo, jika tsunami memojokkan Ketua DPR Marzuki Ali seakan-akan pernyataannya menyuruh masyarakat pesisir untuk hijrah dari Kepulauan Mentawai, maka letusan Merapi justru mengangkat nama juru kunci Mbah "Sing Mbaureksa" Maridjan yang tidak mau meninggalkan lereng gunung sejarak 5 km dari kawah dan memilih mati syahid sambil sujud di dalam tugas. Mirip Kapten Rivai nakhoda Kapal Tampomas II yang gugur syahid dalam tugas di Masalembo yang kisah heroiknya diabadikan Ebiet G Ade dalam lagu "Sebuah Tragedi 1981".

Force majeure adalah keadaan memaksa yang tidak bisa dihindarkan. Kontrak bisnis yang baik selalu mengandung klausul tentang force majeure yang biasanya dirinci (urut abjad) banjir, bencana alam, bencana nuklir, blokade, embargo, epidemi, gelombang, gempa bumi, gunung meletus, huru-hara, karantina, kebakaran, kebijakan pemerintah, pemogokan, penyitaan, perang atau keadaan serupa perang, petir, revolusi, sabotase dan keadaan yang tak terduga lainnya.

Kembali ke hadis di awal, sikapilah bahwa segala force majeure adalah merupakan tanda kecintaan Allah SWT. Syaratnya: rida, sabar, dan tawakal.

Tidak ada satu pun yang bisa menghindar dari force majeure. Cara terbaik menghadapinya adalah dengan berbuat semaksimal dan sebaik mungkin segala hal yang bisa dilakukan, lalu bacalah surat Al Baqarah ayat terakhir:

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya..."