10.11.10

> 27.10.10: Makar



.


Makar

Jakarta Wed 27 Oct 2010


Wa MAKARuu wa MAKARullah - dan berupadaya mereka, dan berupadaya Allah. Itulah salah satu dari firman Allah di dalam Al Quran yang menjadi dasar kosakata "makar" yang berarti pengambil-alihan kekuasaan secara paksa alias coup d'etat.


Makar sudah ada sejak zaman dahulu kala. Absyalum makar kepada bapaknya Raja yang juga Nabi Daud walaupun gagal dan tahta diwariskan kepada Raja yang juga Nabi Sulaiman. Aurangzeb makar kepada bapaknya Maharaja Shah Jahan, mengisolasinya sampai pemrakarsa mahakarya masjid batu pualam Taj Mahal itu meninggal.


Di zaman modern, 1999, Kepala Staf AD Pakistan Jenderal Pervez Musharraf "terpaksa" makar kepada Perdana Menteri Nazwar Syarif. Gara-garanya, ketika Jenderal hendak mendarat di bandara Karachi dari sebuah penerbangan luar negeri, PM mengeluarkan perintah yang keterlaluan: bandara diblokir dan izin mendarat tidak diberikan. Satu yang terabaikan PM adalah bahwa yang berada di pesawat adalah seorang yang punya banyak bawahan dengan jalur komando. Mereka bergerak cepat. Pesawat berhasil mendarat ketika bahan bakar tinggal tersisa beberapa menit lagi. Dan cerita selanjutnya adalah tinggal sejarah.


Di Indonesia? Ken Arok makar kepada Tunggul Ametung. Belasan tahun kemudian, Anusapati bin Tunggul Ametung membalas makar kepada Ken Arok. Dan banyak makar lain lagi. Namun di masa modern, selama enam kali Indonesia berganti Presiden, tidak pernah terjadi makar.


Sempat ada dugaan Surat Perintah Sebelas Maret alias Supersemar adalah sebuah makar karena dibuat di bawah todongan pistol. Namun bagaimana kisah sebenarnya, sudah dibawa salah satu pelaku sejarah terakhir Supersemar Jenderal (Purn) M Jusuf ke alam baka. Walhasil, Indonesia merdeka tidak mengenal makar. Alhamdulilah.


Beberapa hari sebelum Rabu pekan lalu (20/10) beredar SMS bahwa pada tanggal itu, bertepatan dengan 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), akan ada demo besar-besaran. Tidak disebutkan akan makar, tapi mau apa lagi kalau bukan untuk itu?


Subhanallah, tepat sebulan sebelumnya (20/9) Pemimpin Umum Harian Jurnal Nasional N Syamsuddin Ch Haesy menurunkan tulisan berjudul "Bukalah Kacamata Hitam Itu". Cerita tentang seorang Ulama Banten Selatan yang membuat keputusan drastis: tidak akan lagi menonton TV! Apa pasal?


Karena menurut pengamatan Ulama Sepuh itu, sejak enam tahun terakhir sesungguhnya negeri ini sedang bergerak minadz dzulumati ilan nur - dari kondisi gelap remang ke cahaya terang-benderang. Tetapi pemberitaan di TV tidak menunjukkan seperti itu. Karena memakai kacamata Ray Ban, maka seterang apapun cahaya nur, tetap saja kelihatan gelap dzulumat.


Tsummun bukmun 'umyun - tuli bisu buta. Sesuai bunyi salah satu ayat Al Quran, seperti itulah barangkali gambaran segelintir manusia yang tidak bisa melihat kenikmatan yang hakikatnya diberikan oleh Allah SWT. Padahal syukur adalah sebuah kewajiban. Barangsiapa yang tidak syukur kepada kenikmatan yang qolil alias kecil, sama saja dengan tidak mensyukuri kenikmatan yang kabir alias besar. Barangsiapa tidak syukur kepada manusia perantara nikmat, sama saja dengan tidak syukur kepada Allah. Demikian bunyi sebuah hadit.


Dalam wawancara yang disiarkan RRI (25/10), Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengatakan bahwa sekalipun indikator-indikator kuantitatif sesungguhnya cukup baik, namun humas pemerintahan tidak jalan. Banyak kementerian yang tidak maksimal dalam mengkomunikasikan kemajuan.


Padahal litbang sebuah koran nasional menunjukkan bahwa apresiasi positif publik terhadap Presiden SBY pada bulan 3, 6, 9, dan 12 lebih tinggi dibandingkan apresiasi publik terhadap dua presiden pendahulunya pada periode yang sama. Kepada Presiden SBY, Lingkaran Survey Indonesia LSI bahkan memberi grade A, tingkat kesukaan publik tertinggi yang bisa dicapai seorang politisi.


Lamban? Sebuah koran yang biasanya sangat kritis dan sarkastis, akhirnya dalam sebuah editorialnya memberikan pujian atas tindakan-tindakan cepat dan tepat Presiden SBY, antara lain ketika pada detik-detik terakhir membatalkan muhibahnya ke Belanda.


Dalam wawancara yang disiarkan RRI (20/10), Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menengarai ada sesuatu yang harus dikoreksi di negeri ini. Karena semua kesalahan legislatif dan bahkan yudikatif dibebankan kepada Presiden yang adalah eksekutif. Simak daftar panjang tuntutan, lalu buatlah matriks trias politica. Dijamin, hanya sebagian saja yang layak masuk ke kolom eksekutif. Artinya, banyak tuntutan yang salah alamat.


Syukur alhamdulillah, suara sebagian masyarakat yang direpresentasikan ulama Banten di atas, lebih didengar oleh Allah SWT. Di sepanjang Jalan Sudirman dan Thamrin di mana Bundaran HI sebagai pembatasnya, hari Rabu itu lengang. Demikian pula di kota-kota besar di seluruh Indonesia ketika demo berlangsung. Yang rugi tentu saja rakyat. Di antaranya pengemudi angkutan umum. Atau cek saja occupancy atau tingkat hunian hotel-losmen. Hari itu anjlok.

Wa 'ammaa bini'mati robbika fahaddits - dan dengan nikmat Tuhan engkau maka cerita-ceritakanlah. Demikian perintah Allah SWT di dalam Al Quran. Supaya umat tahu kejadian yang sebenarnya. Supaya ummat bisa bersyukur kepada Allah. Supaya ummat tidak mengingkari kenikmatan Allah.


Khawatir terbawa arus mengingkari kenikmatan itulah sesungguhnya yang ditakutkan Ulama Sepuh Banten yang memutuskan lebih baik mematikan TV.


Ayat yang disebut diawal, masih ada terusannya: Wallaahu khoirun MAAKIRiin - dan Allah sebaik-baiknya Dzat yang berupadaya. Bahwa Rabu (20/10), itu ternyata tidak ada makar, semua adalah upadayanya Allah. Alhamdulillah.

Teddy Suratmadji