9.11.10

> 11.08.10: Puasa Ramadan vs. Produktvitas








Puasa Ramadan Vs Produktifitas

Jakarta Wed 11 Aug 2010


Buniyal Islam ‘ala khomsin ‘“ dibangun Islam atas lima perkara. Demikian bunyi sebuah hadits. Syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji. Puasa yang dimaksud adalah puasa wajib di bulan ramadan.

Tidak makan dan minum sejak imsak beberapa menit menjelang adzan sholat subuh sampai saat adzan maghrib adalah sebuah tantangan. Tetapi tidak ada pilihan, karena puasa ramadan sebagai salah satu rukun Islam hukumnya adalah wajib.

Yang menjadi isu adalah apakah selama puasa ramadan dengan perut keroncongan dan tenggorokan haus akan mempengaruhi produktifitas?

Bagi yang sudah terbiasa puasa sunnat Senin-Kamis, misalnya mantan Wapres BJ Habibie, memasuki ramadan tentunya tidak masalah. Apalagi yang sudah terbiasa puasa sunnat Nabi Daud selang sehari sepanjang tahun.

Bagi yang sama sekali tidak menjalankan puasa sunnat, memasuki ramadan tentu saja akan mengalami masa ‘penyesuaian‘ full dengan rasa lapar, haus, lemas dan ngantuk. Tetapi itu hanya beberapa hari saja.

Sebenarnya jika puasa ramadhan dikerjakan dengan sungguh-sungguh, tidak hanya menjalankan perintah meninggalkan makan minum, tetapi juga meninggalkan larangan lainnya selama ramadan, produktifitas kerja justru seharusnya meningkat.

Selama puasa ramadhan dilarang marah. Artinya emosi harus dikontrol. Di dalam hadits, jika ada yang mengajak berantem, katakan sebanyak 2 kali ‘innii shooimun‘ -saya sedang puasa. Jadi selama ramadhan kontraproduktifitas akibat boss atau kolega yang mudah marah, misalnya, dapat ditekan.

Selama puasa ramadhan dilarang berbicara lahan yang tidak ada gunanya, apalagi berbohong, sebab barangsiapa yang selama puasa ramadhan tidak mengontrol mulutnya faqod lagho maka puasanya sia-sia. Jadi selama ramadhan kontraproduktifitas akibat ngerumpi atau politics at works, atau ngibul alias bohong, misalnya, dapat ditekan.

Selama puasa ramadhan dilarang melihat perkara lahan sebab, seperti juga berbicara lahan, akan menyebabkan puasanya faqod lagho, sia-sia. Jadi selama ramadhan kontraproduktifitas akibat korupsi waktu untuk melihat situs biru, misalnya, dapat ditekan.

Nah, kalau di lingkungan pekerjaan emosi lebih stabil, ngerumpi dihindari, jujur berjamaah tidak berbohong, tidak mencuri waktu melototin situs bernoda, dll, dll, bukankah sebetulnya puasa ramadhan itu justru menekan kontraproduktifitas alias meningkatkan produktifitas?

Waktu istirahat makan siang umumnya 1 jam. Tetapi kenyataannya lebih dari itu. Apalagi di kalangan eksekutif. Molornya na‘udzubillah. Kecuali tentu saja business lunch dengan mitra bisnis. Nah, selama ramadan ‘korupsi waktu‘ terselubung makan siang ini praktis ini bisa hilang.

Satu lagi. Tidak ada yang ingin berbuka puasa kecuali dengan keluarga di rumah. Maka itu di banyak perusahaan, jam kerja diawalkan lebih pagi dan istirahat makan siang diperpendek menjadi setengahnya dengan tujuan jam pulang bisa dimajukan.

Dampak positipnya pekerja menjadi lebih time oriented. Lembur menjadi drop. Overtime costs bisa turun.

Walhasil, selama puasa ramadhan sesungguhnya produktifitas bisa meningkat. Hanya saja secara ilmiah belum pernah diteliti. Sensitif.

Jika ternyata produktifitas turun, apakah mau menyalahkan puasa ramadhan? Kan tidak mungkin. Sebaliknya, jika ternyata produktifitas meningkat, apakah kemudian perusahaan akan mewajibkan pekerjanya untuk puasa sepanjang tahun? Kan juga tidak mungkin.

Tetapi percayalah, jika semua perintah dikerjakan dan larangan ditinggalkan, puasa ramadan sesungguhnya dapat meningkatkan produktivitas. Insya Allah. Selamat puasa.