20.7.10

> 02.06.10: Jurnas Media Kifayah




Jurnas Media Kifayah

Jakarta Wed 02 Jun 2010


SABDA Nabi, barang siapa yang tidak mensyukuri kenikmatan yang katsir - kecil, maka sama saja dengan tidak mensyukuri kenikmatan yang kabir - besar.

Kabir adalah akumulasi dari katsir. Ibaratnya katsir adalah building block batu bata. Sedangkan kabir adalah bangunan. Mana mungkin kabir berdiri kokoh jika katsir jeblok?

Masih sabda Nabi, barang siapa yang la yasykurinnasa - tidak syukur pada manusia, sama saja dengan la yasykurillaha - tidak syukur kepada Allah.

Bukan maksud mensejajarkan manusia dengan Allah, na'uudzubillah, tetapi hadits diatas menerangkan bahwa manusia adalah perantara nikmat yang diberikan oleh Allah.

Saat ini, setiap hari Indonesia dibombardir media cetak dengan tulisan-tulisan yang jauh dari mencerminkan rasa kesyukuran terhadap begitu banyak kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada bangsa dan negara ini.

Borong semua koran, jejerkan, dan baca headline serta editorialnya. Hanya 1-2 koran saja yang netral. Selebihnya, Masya Allah, penuh tulisan negatip dan nirsantun.

Sepertinya tidak ada kemajuan pembangunan di negeri ini. Padahal Allah SWT menghargai khoiron kebaikan, walaupun sebesar dzarah. Sekecil apapun kemajuan pembangunan di negeri ini, hakikatnya adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT.

Apa boleh buat, di kalangan media berlaku bad news is good news. Berita buruk dan sensasional adalah berita yang laku dijual. Jadi, suka atau tidak suka harus tetap dihormati, karena media adalah salah satu dari pilar demokrasi. Dan dilindungi Undang-undang (UU).

Setiap orang di satu kampung wajib mengerjakan sholat. Namanya wajib ‘ain. Tetapi cukup seorang saja di satu kampung yang bisa memandikan jenazah. Namanya wajib kifayah. Jadi dari sekian banyak media di satu negeri, perlu ada satu media syukron. Mengapa?

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman bahwa “Barang siapa yang tidak bersyukur kepada nikmat-Ku, fakhruj! maka keluarlah dari bumi-Ku!”. Nah, mau lari kemana? Ke luar angkasa?

Baru beberapa hari lalu mahafisikawan Stephen Hawking mengingatkan NASA untuk tidak melakukan upaya kontak dengan makhluk luar angkasa. Sebab seperti punahnya suku Indian paska ditemukannya Amerika oleh Columbus, seperti itu pula nasib homo sapiens jika kelak ditemukan oleh ET. Begitu katanya. Jadi mending tetaplah tinggal di bumi, dan menjadi hamba-Nya yang syukur.

Sejauh mana media-media nirsantun seperti itu akan eksis?



Pertama, lihatlah megamedia baik domestik maupun global. Tulisannya santun. Kedua, masyarakat semakin arif. Pelatihan2 sejenis ESQ, MindChamps dll semakin berkembang. Buku jadul ‘How To Win Friends and Influence People‘ karya Dale Carnegie sampai ribuan judul buku masa kini seperti ‘The 7 Habits Of Highly Effective People‘ karya Steven Covey semakin deras dicetak. Hanya masalah waktu, media-media nirsantun akan ditinggalkan. Apalagi ‘Karakter Bangsa‘ akan dijadikan bahan pelajaran sejak dini di sekolah-sekolah.

Mereka akan menghindari tulisan-tulisan negatip, sebab mereka tahu bahwa "seperti apa seseorang 5-10 tahun kedepan, tergantung kepada apa yang dibacanya, dan siapa yang digaulinya".

Maka ada ceruk penting disini. Harus ada media yang terus mengajak segenap komponen bangsa untuk husnudzon billah bersangka baik kepada Alloh. Sebuah media syukron yang jika dimintakan fatwa kepada MUI boleh jadi hukumnya wajib kifayah.

Dalam nawaitu inilah, tanggal 1 Juni, 4 tahun yang lalu, lahir Jurnas sebagai media syukron. Semoga Jurnas terus istiqomah, konsisten dengan gaya tulisan yang positif.

Dirgahayu, Jurnas. Happy Milad ke 4. Barakallaahu.

Teddy Suratmadji