20.7.10

> 26.05.10: Memilih CEO Maslahat










Memilih CEO Maslahat

Jakarta Wed 26 May 2010


SABDA Nabi Muhammad SAW, barangsiapa kaum yang mengangkat pemimpin 'ala fiqhin "atas dasar kefahaman, hasilnya adalah hayatan lahu walahum" akan hidup pemimpin dan akan hidup pula kaum.

Nabi tidak melihat curriculum vitae masa lalu . Seorang jagoan suku Quraisy mantan musuh yang dengan telak mengalahkan tentara Islam di perang Uhud, kelak malah diangkat mejadi Panglima Muslimin. Namanya Khalid bin Walid.

Nabi juga tidak melihat ras. Perang Khondak yang terkenal karena sistim perlindungan parit yang mengelilingi Madinah, dan menghasilkan kemenangan Islam, panglimanya adalah orang Persia. Namanya Salman Al-Farisi.

Pemilihan pemimpin cara bottom-up seperti rakyat memilih Kepala Daerah, atau Dewan Pimpinan Daerah di Kongres memilih seorang Ketua Umum, atau pemilihan pemimpin cara top-down seperti segelintir share holder pada RUPS korporasi memilih seorang CEO (Chief Executive Officer), memiliki satu prinsip universal: pilih yang profesional.

Perbedaan komputer dengan biskuit ibarat bainas samaai wal ardli bagaikan langit dan bumi. Tetapi CEO yang terbukti menyelamatkan perusahaan raksasa IBM dari kehancuran bukanlah ahli komputer, melainkan Lou Gestetnet ex CEO Nabisco, perusahaan biskuit.

Yang fenomenal adalah eksekutif buangan yang karena berbeda prinsip dengan shareholders dicabut semua kewenangan dan fasilitasnya, dan hanya diberi sebuah meja di pojokan. Dia lalu diambil dan diangkat menjadi CEO perusahaan kompetitor. Dengan menggaji dirinya sendiri hanya $1, dia berhasil meyakinkan parlemen untuk mendapat bantuan Pemerintah Amerika. Chrysler selamat dari dipailitkan Chapter 11 oleh CEO "buangan Ford" Lee Iacocca.

Setiap hari media dipenuhi dengan berita pengangkatan CEO. Yang bottom-up adalah pilkada dan pilketum partai, termasuk ormas. Yang top-down adalah pengangkatan CEO korporasi, termasuk pengangkatan menteri kabinet.

Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum layak dicatat secara khusus didalam sejarah Indonesia. Pertama, sebagai CEO partai besar termuda. Umurnya baru berkepala empat, sementara CEO partai lainnya sudah melewati umur psikologis setengah abad, bahkan berkepala enam.

Kedua, dari dari sebuah ruling party termuda. Kongres-nya saja baru dua kali. Bandingkan dengan partai-partai lain yang sudah kongres, atau munas, atau mubes, atau muktamar berlipat kali. Ketiga, dihasilkan dari sebuah proses pemilihan yang sportif siap-menang-siap-kalah.

Bayangkan, di akhir pemilihan, tripple A ‘Anas-Alie-Andi‘ bergandengan tangan. Sementara di partai lain, pasca pemilihan bisa berakhir ke kalam akhir gugat cerai talak tiga dari pihak yang kalah. Murtad dari partai.

Mengapa Anas menang? Jawaban pastinya ada di 236 orang yang memilihnya di putaran pertama, dan 280 orang yang memilihnya di putaran kedua. Tetapi sepertinya, sih, Anas dipilih bukan karena faktor-faktor lain melainkan ‘ala fiqhin yang bukan saja diartikan sebagai 'profesional', tetapi memang diartikan faqih beneran. Anas adalah mantan Ketua Umum Penggurus Besar (PB) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) 1997-1999.

Jika itu benar, dan semoga saja benar, maka ganjarannya adalah hayatan lahu wa lahum Ketua Umumnya 'hidup', konstituen partainya juga 'hidup'. Nah, karena Partai Demokrat adalah partai besar, dengan jumlah kursi di parlemen terbanyak, maka rakyat Indonesia tentunya juga kecipratan 'hidup'.

Satu hal lagi, first impression alias kesan pertama dari siapapun yang melihat penampilan Anas berbicara, adalah memiliki bakat alamiah kesantunan ala Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono. Jadi, semoga saja selain 'hidup', Anas juga mampu menularkan sifat santun. Selamat bekerja, Akhi Anas.

Teddy Suratmadji