20.7.10

> 12.03.10: Syukur Vs. Kufur






Syukur vs Kufur

Fri 12 Mar 2010

Ir KH Teddy Suratmadji MSc


Dari yakin aku teguh. Hati ikhlasku penuh. Akan karunia-Mu. Tanah air pusaka. Indonesia tercinta. Syukur aku sembahkan kehadirat-Mu Tuhan.


ITULAH lagu Syukur yang dalam setiap upacara bendera anak sekolah sampai upacara bendera kenegaraan selalu dinyanyikan. Ungkapan terima kasih kepada Tuhan atas dianugerahkannya Tanah Air Pusaka Indonesia yang‘“kata Koes Ploes-berkolam susu, berbatu berkayu jadi tanaman.


Tepat sekali, generasi manusia Indonesia sejak kecil ditanami rasa syukur dan cinta Tanah Air. Mengapa? Karena syukur itu hukumnya wajib. Firman Allah: “Dan jika syukur kamu sekalian atas kenikmatan yang diberikan Allah, niscaya Allah akan menambah kenikmatan.” “Dan jika tidak syukur kamu sekalian, firman Allah pula, maka sesungguhnya siksa Kami amatlah pedih.”


Bagaimana cara syukur? Apakah dengan menyanyikan lagu Syukur setiap hari? Tentu bukan. Lagu itu isinya mensyukuri Tanah Air. Padahal, dalam kehidupan ini banyak sekali hal-hal kecil yang juga wajib disyukuri.


Ingat ketika Barrack Hussein Obama dilantik menjadi presiden Amerika Serikat? Bagaimana seorang keturunan Muslim bisa terpilih menjadi bos di negara adidaya itu? Besyukurlah semua muslim?


Search saja di Google dan cari berita-berita seputar tanggal dilantiknya Obama. Ada saja segelintir Muslimin yang, alih-alih mensyukuri, malah menghujat habis-habisan kenikmatan akbar bagi sejarah besar peradaban Muslim. Barrack bukan asal kata dari barak berarti tangsi militer. Tapi dari asal kata mubarak alias diberi barakah.


Perbuatan syukur kedua: syukurilah perantara nikmat, berdasarkan hadits Nabi: barangsiapa tidak syukur kepada manusia, maka sama dengan tidak syukur kepada Allah. Sehingga, sekecil apa pun nikmat, kita hendaknya mensyukuri dan memberikan apresiasi kepada para perantaranya.


Pernah ada makanan jatuh dari langit? Pernah. Yaitu ketika Nabi Isa menjamu kaum Hawariyyin. Kejadiannya kemudian diabadikan di dalam Surat Al-Maidah (Hidangan).


Sebelumnya, ketika Siti Maryam diasingkan karena hamil tanpa suami, tapi tetap survive karena Allah memberikan makanan langsung dari langit. Setelah dua kejadian itu, semua makanan harus dicari, dan dimasak sendiri.


Pernah lihat uang jatuh dari langit? Pernah, ketika Tung Desem Waringin, seorang motivator, dalam rangka promosi bukunya membuat hujan uang dari helikopter sewaan. Tetapi hujannya sporadis dan sesaat saja, tidak sampai seharian dan merata se-Jakarta.


Selain kejadian sensasional itu, semua manusia memperoleh rezeki dalam bentuk uang dan uang itu hakikatnya dari Allah, tetapi melalui para perantara: anak dari ortu, isteri dari suami, dan pegawai dari tempatnya bekerja, dan seterusnya.


Dalam skala lebih besar, siapa menciptakan kehidupan beragama, berbangsa, dan ber-Tanah-Air yang aman dan damai di suatu negara? Pasti Allah, bukan? Sesuai hadis di atas, semua itu ada perantaranya.


Tetapi alangkah banyak ironi, sejak zaman baheula, di negeri-negeri yang sedang menapak menuju baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur, segolongan umat alih-alih mensyukuri, malah menghujat habis para penyelenggara negara.


Perbuatan syukur ketiga, dan ini yang paling susah adalah: selalu melihat ke bawah. Jangan melihat ke atas. Berdasarkan hadis Nabi: Lihatlah kepada orang yang lebih bawah, dan janganlah melihat kepada yang lebih atas. n