20.7.10

> 24.03.10: Dosa Melibas Pahala










Pahala vs Dosa

Jakarta Wed 24 Mar 2010


SEORANG profesional menghabiskan malam di lobby hotel. Pikirannya menerawang jauh. Sekelebat, ia teringat sabda Nabi Muhammad SAW, keimanan itu up and down: yazdaadu wa yankutsu. Ketika sedang up, maka panca indera akan tergerak produktif berbuat pahala. Sebaliknya, ketika lagi down panca indra bergerak serempak untuk berbuat maksiat.

Jika diplot, grafik pahala-dosa manusia itu sinusoidal alias turun naik. Yang membedakan grafik orang faqih dengan orang jahil adalah frekuensinya: seberapa cepat saat berbuat dosa mampu istigfar kembali ke jalan yang lurus, dan seberapa cepat saat iman kejeblos berbuat maksiat.

Syukurlah, Allah Dzat Maha Pemurah. Pahala selalu dilipat-gandakan, sedangkan dosa tidak. Yang digandakan tujuh ratus kali lipat adalah pahala infaq-sedekah. Yang digandakan seratus-ribu kali lipat adalah shalat di Makkah. Yang digandakan pahala ibadah seribu bulan adalah ibadah saat turun Lailatul Qodar.

Ada satu hal yang harus diwaspadai para pemimpin: jangan mengajak ummat berbuat dosa. Pasalnya, sabda Nabi, barangsiapa yang mengajak orang untuk berbuat dosa, maka orang yang mengajak akan mendapatkan bagian dosa dari orang yang diajak, laa yankutsuu dzaalika min aatsaamihim syaian tanpa mengurangi dosanya orang yang diajak.

Jadi, terhadap kriteria pemimpin yang diuraikan di banyak buku tentang leadership, misalnya karya John Maxwell, Steven Covey, Zig Ziglar, dll, perlu disisipkan satu tambahanb: bahwa pemimpin yang baik itu tidak memberi contoh, mempengaruhi apalagi menyuruh anak-buahnya untuk berbuat dosa.

Sebaliknya, jika seorang pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk mengajak ummat berbuat pahala, maka dia akan mendapat share pahala dari orang yang mengikutinya, laa yankutsu dzaalika min uujuurihim syaian tanpa mengurangi pahala orang yang diajaknya.

Sesungguhnya kebaikan (pahala) menghapus kejelekan (dosa), demikian firman Allah didalam Al-Quran. Tentu saja ayat itu berlaku jika dan hanya jika pahala lebih banyak dari dosa. Bagaimana kalau sebaliknya? Ya tekor: dosa melibas pahala.

Seorang pendosa tentu lebih banyak dosanya daripada pahalanya. Namanya saja pendosa. Tetapi ada lagi yang selama hidupnya merasa sudah mengumpulkan banyak pahala.Namun apa yang terjadi?

Di akhirat dia termasuk golongan yang muflis alias bangkrut. Penyebabnya? Doyan ghibah alias ngerasani-Jawa alias ngupat-Sunda alias mencerita-ceritakan sesuatu hal yang benar tentang seseorang, tetapi dia tidak suka hal itu dicerita-ceritakan.

“Wahai Nabi, bagaimana jika hal yang dicerita-ceritakan itu sesuatu yang benar?” tanya sahabat. “Ya itulah yang namanya ghibah. Adapun jika yang dicerita-ceritakan itu perkara yang tidak benar, itu namanya fitnah” jawab Nabi.

Awal-awal ketika TV mulai ramai menayangkan kisah pribadi para selebriti, saat itu para Ulama sudah mengingatkan bahwa apa yang dilakukan masyarakat kita adalah sebuah ghibah nasional. Praktis tidak ada selebriti yang suka kehidupannya dibuka kepada publik, bukan?. Tetapi mau bagaimana lagi? Fatwa kalah sama rating.

Mengapa pengghibah muflis di hari akhirat? Karena orang yang dirasani akan mengambil pahala dari orang yang ngerasani. Tentunya mengambil dengan tanpa ampun.

Jadi jangan understimate dengan para selebritis. Boleh jadi justru sorga mereka tinggi. Darimana pahalanya? Ya dikutip dari jutaan orang yang doyan ghibah semesta yang dipancar-luaskan di media, termasuk via internet. Allohu a‘lam.

Saking harus berfikir positip tentang orang lain, Rhonda Byrne dalam bukunya “The Secret” memberi pelajaran, jika tidak suka dengan seorang politikus, jangan menyerang pribadinya, tetapi bergabunglah dengan partai yang oposisi dengan partai sang politikus tadi. Jadi bukan dengan ghibah, black-campaign, melainkan dengan mengadu program.

Terpujilah mereka yang waspada menjaga pahalanya, waspada menghindari tambahan dosanya.

H. Teddy Suratmadji
tsuratmadji@gmail.com