20.7.10

> 28.04.10: HRD Ekspatriat








HRD Ekspatriate

Jakarta Wed 28 Apr 2010


SYAHDAN Musa memergoki dua pemuda sedang berkelahi. Satu dari bangsa inferior Yahudi dan satu lagi dari bangsa superior penjajah Kibti. Tanpa ba-bi-bu Musa menempeleng salah-satunya. Begitu powerful Musa faqotalahu sehingga pemuda Kibti almarhum seketika.

Dengan cepat berita sampai ke istana. Bahwa Musa, sang orok yang dulu hanyut di sungai dan dipungut oleh pramesywari Asyiah dan dibesarkan sampai menjadi seorang pangeran, membunuh pemuda bangsa Kibti.

Yang kemudian menjadi isu bukan siapa salah siapa benar, melainkan isu SARA karena Musa adalah bangsa Yahudi, sedangkan Firaun adalah bangsa Kibti.

Itulah salah satu trigger genderang perang Musa vs. Firaun yang mengakibatkan bangsa Yahudi mengembara selama 40 tahun mencari Baitul Maqdis. Semasa exodus ke Yerusalem itulah dalam versi agama samawi Kristiani keluar "The Ten Commandment" yang pada tahun 1956 oleh Cecil B. DeMille dibuat menjadi film.

Walau isu lokal-ekspat sudah ada sejak ribuan tahun lalu, kerusuhan di sebuah korporasi galangan kapal di Batam yang konon dipicu ucapan ekspat yang bernada menghina kepada bangsa local, tetap saja mengejutkan.

Berbagai hujjah alias alasan kemudian dimunculkan: ketidak-adilan akibat kesenjangan gaji ekspat-lokal, perlakuan ekspat kepada lokal, dsb.

Apapun alasannya, semua adalah pekerjaan-rumah Direktorat atau Departemen HRD (Human Resource Departemen). Hanya saja ada faktor yang controllable alias bisa dikontrol dan uncontrollable alias tidak bisa dikontrol.

Gaji jomplang bukanlah karena korporasi memarjinalkan gaji bangsa dewek. Dinaikkan seberapa besarpun, gaji lokal akan tetap terpaut jauh. Mengapa? Karena standard gaji di Indonesia memang rendah.

Sebagai pembuktian terbalik, nyatanya tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri baik pekerjaan blue collar maupun white collar, gajinya besar-besar. Puluhan kali lipat. Walhasil, gaji bukanlah faktor yang controllable.

Perbedaan kultur ekspat-lokal juga bukan faktor yang bisa dikendalikan HRD. Hil yang mustahal jika harus merubah kultur.

Tetapi ekspat mempelajari dan memahami kultur lokal, jelas faktor yang controllable.

HRD perlu membuat daftar Do's ~ apa yang wajib dikerjakan dan Dont‘s ~ apa yang haram dikerjakan oleh para ekspat yang bekerja di Indonesia.

Para ekspat wajib tahu bahwa di zona industri Lhokseumawe, misalnya, minum bir di tempat terbuka boleh jadi dianggap perbuatan ofensif. Sedangkan di zona industri Pulogadung, minum bir masih ok, tapi jangan coba-coba di tempat terbuka membakar babi guling.

Para ekspat wajib tahu bahwa beberapa suku di Indonesia dikenal lembut, tetapi beberapa dikenal keras dan agresif. Pekerjaan boleh kasar, tetapi pride tetap terjunjung tinggi.

Punishment sebagai perimbangan atas reward silahkan lanjutkan. Tetapi jangan sambil mengucapkan kata kasar dan menghina, misalnya mengatakan “bodoh”. Itulah yang terjadi di Batam. Kerugian? Yang tangible puluhan juta US dollar. Yang intangible terganggunya nama baik Batam. Plus exodus para ekspat ke Singapura.

Daerah otonomi yang selama ini dikenal sebagai uswatun hasanah ~ contoh baik, dalam sekejap berubah menjadi uswatun sayyiah ~ contoh buruk. Peristiwa Batam 22/4 lalu wajib dijadikan referensi oleh HRD di BUMN, BUMD dan Korporasi yang mempekerjakan ekspatriate.

Teddy Suratmadji